Haluan Banten – Perusahaan garam beryodium mulai kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku. Hal ini menyebabkan langkanya garam beryodium di pasaran.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan, kelangkaan garam beryodium sejak 2016 tersebut bisa berdampak bagi kesehatan masyarakat.
Seperti diketahui, kelangkaan garam di Indonesia dimulai sejak tahun 2016 lalu akibat cuaca yang tidak mendukung produksi garam di seluruh Indonesia. Para petani garam pun banyak yang mengalami gagal panen.
“Apabila kondisi ini dibiarkan akan menyebabkan gagalnya program kesehatan yang dicanangkan pemerintah yakni Universal Salt Iodization (USI),” ujar Cucu di bandung, Senin (24/7/2017).
USI merupakan salah satu program gizi yang menambahkan zat gizi yodium dalam garam (yodisasi) secara massal baik garam untuk konsumsi untuk manusia maupun hewan.
Garam beryodium merupakan kebutuhan primer yang tidak dapat tergantikan terutama untuk manusia. Menurut penelitian, setiap satu orang perlu memenuhi kebutuhan konsumsi garam beryodium sebanyak 3 kilogram per tahun.
Jika manusia kekurangan yodium akan menyebabkan kerdil, IQ rendah, gondok, dan tingkat keguguran hamil yang semakin tinggi.
Saat ini, lanjut Cucu, stok garam dalam negeri terus menipis. Tingginya kebutuhan belum bisa diimbangi oleh produksi dalam negeri yang baru bisa mencapai 1,8 juta ton per tahun.
Sementara total kebutuhan garam baik untuk konsumsi dan industri mencapai 4,3 juta ton per tahun.
Industri Garam Nasional
Sulitnya mendapatkan bahan baku garam juga mengancam keberlangsungan sejumlah industri di dalam negeri yang menjadikan garam sebagai salah satu kebutuhan utama.
“Akibat tidak ada stok garam sekarang khusus perusahaan yang bergerak bidang garam produksi kolaps. Efeknya akan terjadi PHK dimana-mana. Puluhan ribu orang yang bergantung terhadap produsen garam akan menganggur,” katanya.
Cucu berharap, pemerintah berlaku bijak dengan cara sesegera mungkin membuka keran impor garam demi untuk memenuhi kebutuhan garam baik untuk konsumsi maupun untuk industri.
“Kalau pemerintah tidak segera mengambil diskresi akan terjadi chaos. Masa pemerintah mengurusi garam saja enggak mampu. Impor ini adalah keterpaksaan,” bebernya.
Sementara itu, Ali Wafa, Direktur PT Budiono Madura Bangun Persada Ali Wafa mengungkapkan, sudah dua bulan perusahaannya tidak berproduksi.
Hal itu akibat tidak tersedianya bahan baku di seluruh sentra penghasil garam nasional sepertiseperti Jeneponto dan Pangkep (Sulwesi Selatan), Madura (Jawa Timur) dan Bima Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut dia, Petani garam tidak bisa panen karena hujan yang masih terjadi meski seharusnya sudah memasuki musim kemarau.
“Kalau Agusutus 2017 ini hujan masih terjadi, maka bisa dipastikan tahun ini akan kembali gagal panen. Kalau pun tidak hujan maksimal bisa panen hanya 40 persen,” kata Ali.
Akibat berhenti berproduksi, setelah lebaran kemarin Ali mau tidak mau terpaksa harus merumahkan 400 karyawannya.
Selama ini garam yang diolahnya 60 persen untuk kepentingan konsumsi untuk memenuhi pasar Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan, sisanya untuk kepentingan industri pengasinan ikan.
“Bisa dibayangkan rumitnya situasi saat memasuki Idul adha untuk kepentingan pengasinan kulit hewan kurban,” paparnya.
Subhan Direktur CV Keluarga Gresik menuturkan, Januari 2017 menjadi kesempatan terakhir baginya untuk melakukan produksi.
Hingga kini, perusahaan yang dipimpinnya yang mempekerjakan 25 karyawan terpaksa harus dirumahkan dengan alasan yang sama akibat tiadanya bahan baku garam.
Menurutnya, penghentian produksi juga dialami IKM garam asal Gresik lainnya. Selama 22 tahun dirinya menggeluti bisnis pengolahan garam konsumsi baru kali ini mengalami krisis bahan baku akibat gagal panen sehingga petani tidak bisa menjual.
“Pada 1997 dan 2010 pernah terjadi kemarau pendek tapi tidak dampaknya tidak separah sekarang ini karena pemerintah langsung mengatasi dengan impor,” kata dia. (irna)
Sumber : Kompas.com